Wednesday, December 16, 2015

APA YANG MEMBUAT PEMIMPIN GAGAL?

Penyebab yang membuat pemimpin gagal antara lain:
1.         Pemimpin dan Budaya Organisasi
Salah satu kendala budaya yang mengganjal para pemimpin adalah highly political culture. Pekatnya aroma politik yang menyelusup dalam tubuh organisasi berakibat menurunnya efektifitas organisasi. Budaya ini tampak dari porsi waktu yang dicurahkan manajemen dalam permainan politik di lingkungan organisasi. Beberapa tanda yang mencuat diantaranya adalah bagaimana orang-orang di dalam organisasi berpikir berdasarkan ”agenda” mereka sendiri-sendiri. Ujung-ujungnya, intrik dan kemelut melanda organisasi. Highly political culture jelas tidak dapat menopang eksistensi perusahaan dalam jangka panjang. Budaya tersebut akan menggerogoti perusahaan dari dalam.
Apa yang harus dilakukan pemimpin? Mengikis budaya ini dan menggantinya dengan budaya yang sesuai. Kemudian pemimpin harus menciptakan budaya yang kuat, seiring dengan tujuan perusahaan dan sesuai dengan kepemimpinannya. Budaya yang kuat akan mendukung kepeimipiannya. Menurut Kotter dan Heskett, dalam sebuah perusahaan dengan budaya yang kuat, hampir seluruh manajer memiliki seperangkat nilai-nilai dan metode yang relatif konsisten dalam menjalankan aktivitas bisnis. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai baru ini dengan sangat cepat. Dalam budaya ini, seorang eksekutif kemungkinan besar akan memperoleh koreksi baik dari bawahan maupun atasannya apabila ia melanggar norma-norma yang berlaku. Pihak dari luar sering melihat perusahaan dengan budaya yang kuat memiliki gaya tersendiri. Lebih jauh, karena telah mengakar dengan dalam, nilai-nilai dan gaya perusahaan dengan budaya yang kuat cenderung tidak berubah terlalu banyak walaupun terjadi pergantian pimpinan.
Budaya yang kuat juga menciptakan tingkat motivasi yang luar biasa. Nilai-nilai bersama serta perilaku yang disepakati dapat membuat orang merasa nyaman untuk bekerja dalam sebuah perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan komitmen serta loyalitas karyawan sehingga mereka akan bekerja keras menghasilkan yang terbaik. Budaya yang kuat juga membantu meningkatkan kinerja karena tersedianya struktur dan sistem pengendalian tanpa harus bergantung kepada birokrasi formal yang dapat menurunkan tingkat motivasi dan inovasi.

2.         Followership 
Keberhasilan dalam kepemimpinan bukan semata-mata ditentukan oleh sang sang pemimpin, namun juga para pengikutnya. Kita mesti ingat bahwa “a good leader is also a good follower”. Tanpa ada dukungan dari follower, mustahil leader akan berhasil. Kepemimpinan tanpa diimbangi dengan kepengikutan (followership) yang baik akan menghasilkan pemimpin yang menjadi megalomania. Artinya, ia menganggap dirinya sangat besar, melebihi keadaan yang sebenarnya. Seorang direktur perusahaan menengah dapat berpikir dan bertingkah layaknya perusahaan yang masuk daftar Fortune 500. Selain megalomania, pemimpin akan menjadi otoriter. Terlebih lagi bila pengikut utamanya relatif lemah dan hanya sekedar menjadi pelaksana, bukan pemikir dan tidak melaksanakan fungi sparring dengan baik. Akibatnya ia cenderung memutuskan sendiri segala sesuatunya, karena memang tidak ada masukan atau pendapat lain yang dapat disejajarkan dengan pola pikirnya.. Tanpa followership yang baik, seorang pemimpin berpotensi menjadi seorang yang bersifat narsistik, yang senang dipuja dan memuja dirinya sendiri. Ia cenderung untuk berani menggunakan anggaran yang besar dan waktu yang banyak untuk dapat tampil dalam acara-acara televisi, mendapatkan liputan, menjadi headlines, dan mengisi cover aneka majalah dan surat kabar bisnis dan umum. Di sini yang dipentingkan adalah penampilan yang glamor serta penuh puja puji tanpakejelasan substansi. Ia juga tidak dapat mentolerir adanya kehadiran orang kuat, yaitu sosok pemimpin yang kharismatik, mempunyai konsep yang jelas dan membumi, serta didukung oleh pengikut yang setia.
3.         Strategi Dan Eksekusi 
Seorang pemimpin akan lebih sering dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bersifat strategic ketimbang operasional, yang mempunyai dampak penting dan bersifat jangka panjang. Harus pula dimaknai sebagai semangat tidak mau didikte keadaan. Seorang pemimpin yang strategis akan berani menyerahkan pengambilan keputusan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat operasional kepada para pemimpin di bawah naungannya. Keputusan-keputusan bidang operasional harus selalu mendukung dan sinkron dengan keputusan-keputusan strategis yang dibuat.
Secara umum, seorang pemimpin harus membagi strategi menjadi 2 (dua) tahapan. Pertama adalah menyusun serta mengembangkan strategi guna meraih hasil yang diharapkan. Selanjutnya adalah eksekusi strategi yang telah ditetapkan sebelumnya dengan tetap memperhatikan aksi yang dilakukan oleh para pesaing.
Strategi yang baik tanpa diikuti eksekusi yang bagus, seolah mobil bagus yang bannya bocor. Eksekusi berhubungan dengan penyelesaian pekerjaan agar mencapai hasil yang diharapkan. Bossidy dan Charan mendefinisikannya sebagai sebuah proses diskusi tentang bagaimana” dan ”apa” dalam mengajukan pertanyaan, menindaklanjuti, serta menjamin akuntabilitas. Ini mencakup pembuatan asumsi mengenai situasi lingkungan bisnis, mengukur kapabilitas organisasi, menghubungkan strategi dengan operasi serta orang-orang yang akan mengimplementasikannya. Juga sinkronisasi orang-orang tersebut dengan beragam disiplin yang mereka miliki, serta menghubungkan reward dengan hasil yang diharapkan.
Namun eksekusi lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Masalah eksekusi menjadi ganjalan di berbagai organisasi. Masih banyak rintangan yang menjadi penghalang. Diantaranya melihat kenyataan bahwa para manajer hanya memfokuskan diri pada perencanaan, namun kurang memperhatikan bagaimana rencana yang telah disusun itu dapat diimplementasikan secara efektif. Masalah lain yang acap muncul adalah minimnya keterlibatan pemimpin dalam menjalankan eksekusi. Banyak pemimpin yang menganggap bahwa masalah eksekusi sepenuhnya adalah urusan bawahan. Perlu diingat bahwa perencanaan strategis hanya akan membuahkan hasil yang efektif manakala mereka yang bertanggungjawab bagi pelaksanaan eksekusi juga menjadi bagian dari proses perencanaan dan formulasi strategis. Dalam hal ini, partisipasi yang lebih luas bagi perencanaan strategis mutlak diperlukan.
Guna menjadikan eksekusi dapat berjalan secara lebih efektif diperlukan fundamental yang kuat. Fundamental yang pertama adalah pemimpin. Menurut Bossidy dan Charan, pemimpin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan eksekusi memiliki karakteristik mampu memahami bawahannya, mampu memahami bisnisnya, berpijak kepada realitas, serta menetapkan tujuan dan prioritas yang jelas untuk kemudian ditindaklanjuti. Mereka juga memberi reward bagi kontributor bagi berhasilnya eksekusi, selalu berupaya untuk meningkatkan kapabilitas karyawan dan mampu memahami diri sendiri.
Strategi yang baik tanpa pelaksanaan eksekusi yang efektif tidak akan mampu meningkatkan kinerja organisasi. Jadi, pemimpin yang hanya mampu menyusun strategi kita, tetapi tidak dapat melakukan eksekusi seperti macan kertas belaka.
4.         Kecerdasan Emosi 
Pemimpin yang gagal kurang memiliki empati, terlalu mementingkan diri sendiri, dan melupakan kebutuhan orang lain. Ketidakmampuan untuk secara efektif mengelola emosi, baik emosi diri sendiri maupun emosi orang lain, merupakan dua penyebab utama gagalnya kepemimpinan. Seringkali seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual dan ketrampilan yang memadai guna memperoleh aspek kognitif dari pekerjaan yang dilakukan, namun gagal dalam memahami dinamika pengikut atau bawahannya.
Guna memperoleh dukungan yang tulus dari para pengikut, pemimpin harus menumbuhkembangkan para pengikut yang telah mengabdikan bakat dan pengetahuan mereka demi kemajuan organisasi. Adalah hal yang naif bila beranggapan bahwa imbalan finansial semata-mata akan menjadikan para pengikut setia dan bahagia, namun mengabaikan komunikasi dan hubungan interpersonal. Para pengikut akan berkembang manakala mereka merasa sebagai bagian dari tim yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi organisasi dan menerima imbalan sebagai hasil dari usaha dan loyalitas mereka. Namun bila pengikut atau karyawan merasa tidak berdaya, dianggap tidak penting, dan dianggap bodoh, mereka menjadi tidak antusias, lamban, dan tidak imajinatif.
Sangat penting bagi para pemimpin untuk mengakui sifat-sifat kemanusiaan yang melekat dalam diri para pengikut guna mempelajari bagaimana membangun kualitas personal yang akan melengkapi kemampuan profesional mereka. Juga, pemimpin perlu menyadari pentingnya peran mereka dalam kehidupan para pengikut.
Jadi pembaca, faktor budaya, followership, kemampuan merumuskan strategi dan mengeksekusinya, dan kecerdasan emosi, sangat menentukan efektifitas kepemimpinan.

No comments:

Post a Comment