Penyebab
yang membuat pemimpin gagal antara lain:
1.
Pemimpin dan Budaya Organisasi
Salah satu kendala budaya yang mengganjal para pemimpin
adalah highly political culture. Pekatnya aroma politik yang menyelusup dalam
tubuh organisasi berakibat menurunnya efektifitas organisasi. Budaya ini tampak
dari porsi waktu yang dicurahkan manajemen dalam permainan politik di
lingkungan organisasi. Beberapa tanda yang mencuat diantaranya adalah bagaimana
orang-orang di dalam organisasi berpikir berdasarkan agenda mereka
sendiri-sendiri. Ujung-ujungnya, intrik dan kemelut melanda organisasi. Highly political
culture jelas tidak dapat menopang eksistensi perusahaan dalam jangka panjang.
Budaya tersebut akan menggerogoti perusahaan dari dalam.
Apa yang harus dilakukan pemimpin? Mengikis budaya ini dan
menggantinya dengan budaya yang sesuai. Kemudian pemimpin harus menciptakan
budaya yang kuat, seiring dengan tujuan perusahaan dan sesuai dengan
kepemimpinannya. Budaya yang kuat akan mendukung kepeimipiannya. Menurut Kotter
dan Heskett, dalam sebuah perusahaan dengan budaya yang kuat, hampir seluruh
manajer memiliki seperangkat nilai-nilai dan metode yang relatif konsisten
dalam menjalankan aktivitas bisnis. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai baru
ini dengan sangat cepat. Dalam budaya ini, seorang eksekutif kemungkinan besar
akan memperoleh koreksi baik dari bawahan maupun atasannya apabila ia melanggar
norma-norma yang berlaku. Pihak dari luar sering melihat perusahaan dengan
budaya yang kuat memiliki gaya tersendiri. Lebih jauh, karena telah mengakar
dengan dalam, nilai-nilai dan gaya perusahaan dengan budaya yang kuat cenderung
tidak berubah terlalu banyak walaupun terjadi pergantian pimpinan.
Budaya yang kuat juga menciptakan tingkat motivasi yang luar
biasa. Nilai-nilai bersama serta perilaku yang disepakati dapat membuat orang
merasa nyaman untuk bekerja dalam sebuah perusahaan, yang selanjutnya akan
meningkatkan komitmen serta loyalitas karyawan sehingga mereka akan bekerja
keras menghasilkan yang terbaik. Budaya yang kuat juga membantu meningkatkan
kinerja karena tersedianya struktur dan sistem pengendalian tanpa harus
bergantung kepada birokrasi formal yang dapat menurunkan tingkat motivasi dan
inovasi.
2.
Followership
Keberhasilan dalam kepemimpinan bukan semata-mata ditentukan
oleh sang sang pemimpin, namun juga para pengikutnya. Kita mesti ingat bahwa a
good leader is also a good follower. Tanpa ada dukungan dari follower,
mustahil leader akan berhasil. Kepemimpinan tanpa diimbangi dengan kepengikutan
(followership) yang baik akan menghasilkan pemimpin yang menjadi megalomania.
Artinya, ia menganggap dirinya sangat besar, melebihi keadaan yang sebenarnya.
Seorang direktur perusahaan menengah dapat berpikir dan bertingkah layaknya
perusahaan yang masuk daftar Fortune 500. Selain megalomania, pemimpin akan
menjadi otoriter. Terlebih lagi bila pengikut utamanya relatif lemah dan hanya
sekedar menjadi pelaksana, bukan pemikir dan tidak melaksanakan fungi sparring
dengan baik. Akibatnya ia cenderung memutuskan sendiri segala sesuatunya,
karena memang tidak ada masukan atau pendapat lain yang dapat disejajarkan
dengan pola pikirnya.. Tanpa followership yang baik, seorang pemimpin
berpotensi menjadi seorang yang bersifat narsistik, yang senang dipuja dan
memuja dirinya sendiri. Ia cenderung untuk berani menggunakan anggaran yang
besar dan waktu yang banyak untuk dapat tampil dalam acara-acara televisi,
mendapatkan liputan, menjadi headlines, dan mengisi cover aneka majalah dan
surat kabar bisnis dan umum. Di sini yang dipentingkan adalah penampilan yang
glamor serta penuh puja puji tanpakejelasan substansi. Ia juga tidak dapat
mentolerir adanya kehadiran orang kuat, yaitu sosok pemimpin yang kharismatik,
mempunyai konsep yang jelas dan membumi, serta didukung oleh pengikut yang
setia.
3.
Strategi Dan Eksekusi
Seorang pemimpin akan lebih sering dihadapkan pada persoalan-persoalan
yang bersifat strategic ketimbang operasional, yang mempunyai dampak penting
dan bersifat jangka panjang. Harus pula dimaknai sebagai semangat tidak mau
didikte keadaan. Seorang pemimpin yang strategis akan berani menyerahkan
pengambilan keputusan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat operasional kepada
para pemimpin di bawah naungannya. Keputusan-keputusan bidang operasional harus
selalu mendukung dan sinkron dengan keputusan-keputusan strategis yang dibuat.
Secara umum, seorang pemimpin harus membagi strategi menjadi
2 (dua) tahapan. Pertama adalah menyusun serta mengembangkan strategi guna
meraih hasil yang diharapkan. Selanjutnya adalah eksekusi strategi yang telah
ditetapkan sebelumnya dengan tetap memperhatikan aksi yang dilakukan oleh para
pesaing.
Strategi yang baik tanpa diikuti eksekusi yang bagus, seolah
mobil bagus yang bannya bocor. Eksekusi berhubungan dengan penyelesaian
pekerjaan agar mencapai hasil yang diharapkan. Bossidy dan Charan
mendefinisikannya sebagai sebuah proses diskusi tentang bagaimana dan apa
dalam mengajukan pertanyaan, menindaklanjuti, serta menjamin akuntabilitas. Ini
mencakup pembuatan asumsi mengenai situasi lingkungan bisnis, mengukur
kapabilitas organisasi, menghubungkan strategi dengan operasi serta orang-orang
yang akan mengimplementasikannya. Juga sinkronisasi orang-orang tersebut dengan
beragam disiplin yang mereka miliki, serta menghubungkan reward dengan hasil
yang diharapkan.
Namun eksekusi lebih mudah diucapkan
daripada dilaksanakan. Masalah eksekusi menjadi ganjalan di berbagai
organisasi. Masih banyak rintangan yang menjadi penghalang. Diantaranya melihat
kenyataan bahwa para manajer hanya memfokuskan diri pada perencanaan, namun
kurang memperhatikan bagaimana rencana yang telah disusun itu dapat
diimplementasikan secara efektif. Masalah lain yang acap muncul adalah minimnya
keterlibatan pemimpin dalam menjalankan eksekusi. Banyak pemimpin yang
menganggap bahwa masalah eksekusi sepenuhnya adalah urusan bawahan. Perlu
diingat bahwa perencanaan strategis hanya akan membuahkan hasil yang efektif
manakala mereka yang bertanggungjawab bagi pelaksanaan eksekusi juga menjadi
bagian dari proses perencanaan dan formulasi strategis. Dalam hal ini,
partisipasi yang lebih luas bagi perencanaan strategis mutlak diperlukan.
Guna menjadikan eksekusi dapat berjalan
secara lebih efektif diperlukan fundamental yang kuat. Fundamental yang pertama
adalah pemimpin. Menurut Bossidy dan Charan, pemimpin yang memiliki kemampuan
untuk melaksanakan eksekusi memiliki karakteristik mampu memahami bawahannya,
mampu memahami bisnisnya, berpijak kepada realitas, serta menetapkan tujuan dan
prioritas yang jelas untuk kemudian ditindaklanjuti. Mereka juga memberi reward
bagi kontributor bagi berhasilnya eksekusi, selalu berupaya untuk meningkatkan
kapabilitas karyawan dan mampu memahami diri sendiri.
Strategi yang baik tanpa pelaksanaan
eksekusi yang efektif tidak akan mampu meningkatkan kinerja organisasi. Jadi,
pemimpin yang hanya mampu menyusun strategi kita, tetapi tidak dapat melakukan
eksekusi seperti macan kertas belaka.
4.
Kecerdasan Emosi
Pemimpin yang gagal kurang memiliki empati,
terlalu mementingkan diri sendiri, dan melupakan kebutuhan orang lain.
Ketidakmampuan untuk secara efektif mengelola emosi, baik emosi diri sendiri
maupun emosi orang lain, merupakan dua penyebab utama gagalnya kepemimpinan.
Seringkali seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual dan ketrampilan
yang memadai guna memperoleh aspek kognitif dari pekerjaan yang dilakukan,
namun gagal dalam memahami dinamika pengikut atau bawahannya.
Guna memperoleh dukungan yang tulus dari
para pengikut, pemimpin harus menumbuhkembangkan para pengikut yang telah
mengabdikan bakat dan pengetahuan mereka demi kemajuan organisasi. Adalah hal
yang naif bila beranggapan bahwa imbalan finansial semata-mata akan menjadikan
para pengikut setia dan bahagia, namun mengabaikan komunikasi dan hubungan
interpersonal. Para pengikut akan berkembang manakala mereka merasa sebagai
bagian dari tim yang memberikan kontribusi yang signifikan bagi organisasi dan
menerima imbalan sebagai hasil dari usaha dan loyalitas mereka. Namun bila
pengikut atau karyawan merasa tidak berdaya, dianggap tidak penting, dan
dianggap bodoh, mereka menjadi tidak antusias, lamban, dan tidak imajinatif.
Sangat penting bagi para pemimpin untuk
mengakui sifat-sifat kemanusiaan yang melekat dalam diri para pengikut guna
mempelajari bagaimana membangun kualitas personal yang akan melengkapi
kemampuan profesional mereka. Juga, pemimpin perlu menyadari pentingnya peran
mereka dalam kehidupan para pengikut.
Jadi pembaca, faktor
budaya, followership, kemampuan merumuskan strategi
dan mengeksekusinya, dan kecerdasan emosi, sangat menentukan efektifitas
kepemimpinan.
No comments:
Post a Comment